Oleh: Isbatullah Alibasja, S.T
PT Krakatau Steel (KS) memiliki berbagai permasalahan serta kompleksitas dalam perjalanannya sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang pernah dikenal sebagai pabrik baja terbesar se-Asia Tenggara.
Salah satu permasalahan besar yang ada di PT KS adalah proyek Blast Furnace Complex (BFC).
1. Proyek BFC (Blast Furnace Complex) Krakatau Steel itu bukan mangkrak. Proyek itu sudah selesai konstruksinya 100% dan dalam tahap “Performance Test” dan berlangsung selama 5 bulan tapi tidak dilanjutkan oleh Silmy Karim (Direktur Utama Krakatau Steel), padahal menunggu 2 tahap lagi sudah bisa “handover” ke PT KS, ini ditandai dengan adanya rapat di bulan Desember 2019 antara PT KS dan Konsorsium MCC-CERI-KE yang intinya untuk melakukan persiapan Shutdown Pabrik alias dihentikan beroprasi/berhenti produksi.
2. Bilamana pabrik BFC berlanjut, maka hasil produknya berupa hot metal harus diproses di 6 dapur listrik (6 unit EAF SSP yang sudah dimiliki oleh PT KS). Pada kenyataannya dapur-dapur listrik tersebut sudah dimatikan terlebih dahulu oleh Silmy Karim sebelum pabrik BFC mulai beroperasi. Akibat dari kesalahan ini, maka proyek BFC dikambing hitamkan dan disampaikan ke public bahwa proyek BFC mangkrak.
3. Selain itu alasan utama dari pemberhentian pabrik SSP dan BF ini apa?. Apa ada kaitannya dengan fakta dimana berapa tahun belakangan terjadi impor besi atau baja. Baja paduan dan produk turunannya secara besar-besaran oleh importir Indonesia termasuk PT Krakatau Steel?, yang mana saat ini kasus impor baja tersebut sedang dalam proses pemeriksaan hukum dengan 6 tersangka.
Anehnya lagi Krakatau Steel dan Silmy Karim tidak jadi tersangka bahkan tidak pernah diperiksa?
4. Modal dasar yang sudah disiapkan oleh PT KS untuk membeli bahan baku/raw material proyek BFC senilai Rp3 Trilyun beliau pakai untuk membayar hutang kepihak ketiga yang bertujuan hanya untuk menyelamatkan Laporan Keuangan KS Tahun 2019 atau mau cari muka kepada para investor?. Bilamana Silmi Karim punya intuisi bisnis yang tajam dan tidak egois juga bisa memperhitungkan potensi pabrik BFC yang sudah dibangun, tentunya dia tidak akan dengan mudahnya memberhentikan pabrik itu, yang mana pabrik serupa di Krakatau Posco tetap berproduksi dan memberikan profit yang besar saat ini.
Kalkulasi Blast Furnace
Misalkan Silmy Karim dan jajarannya bisa menganalisa pabrik mana saja yang mesti diaktifkan dan fasilitas pendukung apa saja yang mesti disiapkan tentu tidak akan terjadi hal yang merugikan PT KS, dimana Silmy Karim dan jajarannya merekayasa fakta. Faktanya bukan proyek BFC yang mangkrak tapi justru dibuat menjadi mangkrak!, BF adalah pabrik yang sudah berjalan dan sudah bisa berproduksi.
Kalau dianalisa lebih dalam melihat perkembangan harga pasar baja di Indonesia dari 2019 sampai 2022, terlihat bahwa harga sangat naik signifikan, kenaikannya mencapai 2 kali lipat. Kalau KS punya produk dan dilempar ke pasar, tentunya akan meraup keuntungan yang luar biasa.
Perkembangan Harga Baja :
2019 – harga baja Rp8.600/kg
2020 – harga baja Rp10.000/kg – Rp14.000/kg
2021 – harga baja Rp15.000/kg – Rp17.500/kg
2022 – harga baja Rp18.500/kg – bisa menanjak ke Rp20.000/kg
Melirik harga baja yang begitu bagus di tahun 2021, seandainya PT KS menjalankan pabrik BFC dengan produk sebesar 1,2 juta ton per tahun dengan asumsi harga baja rata-rata Rp16.000/kg dengan harga produksi sekitar Rp12.000/kg, maka diperkirakan PT KS akan meraih keuntungan sekitar Rp4.000/kg x 1,2 juta ton = Rp4,8 Triliun.
Tentunya kita bisa berasumsi kalo pabrik BFC dapat berjalan dengan baik sejak tahun 2020 sampai sekarang, berapa potensi profit yang akan diraih PT KS ? (bisa Rp10 Triliun) dan ini sudah bisa mengembalikan modal pabrik BFC itu sendiri, sayangnya itu lepas begitu saja.
Ada potensi kerugian negara akibat dihentikannya Blast Furnace oleh Silmy Karim, mengapa saudara Silmy Karim tidak dipanggil oleh Pihak Kejagung?.
Penulis:
Isbatullah Alibasja, S.T adalah seorang aktivis yang juga Ketua Presidium Front Daulat Pribumi (FDP).