Banten, Kota Bandar Internasional yang Pernah Jadi Magnet Pedagang Dunia
HARIANBANTEN.CO.ID – Jauh sebelum Indonesia merdeka, perairan nusantara telah menjadi jalur penting dalam jaringan perdagangan global. Salah satu pusat aktivitas maritim paling menonjol kala itu adalah Kota Banten, yang pada abad ke-16 hingga 17 menjelma sebagai kota bandar internasional dan kosmopolitan di ujung barat Pulau Jawa.
Pelabuhan Karangantu yang kini menjadi tempat bersandar kapal nelayan tradisional, dahulu merupakan simpul perdagangan kelas dunia. Pada masa jayanya, pelabuhan ini tercatat dikunjungi kapal-kapal dari Tiongkok, India, Timur Tengah, hingga Eropa.
Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen bahkan mencatat bahwa enam kapal Tiongkok pernah bersandar di Banten dengan membawa barang dagangan senilai 300.000 real dalam satu waktu.
Keberhasilan ini tidak lepas dari posisi geografis Banten yang strategis di dekat Selat Sunda, jalur alternatif bagi pelayaran internasional antara Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan. Letak ini menjadikan Banten sebagai pintu gerbang maritim Asia Tenggara, sekaligus alternatif dari jalur Selat Malaka.
Kesultanan Banten didirikan pada 1526 oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati setelah menaklukkan Kerajaan Hindu Banten Girang, yang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda Pajajaran. Pusat pemerintahan kemudian dipindahkan ke wilayah pesisir oleh putranya, Maulana Hasanuddin, yang resmi memproklamasikan Banten sebagai kesultanan merdeka pada 1552.
Di masa kepemimpinan Sultan Maulana Hasanuddin, fondasi kota bandar modern mulai dibangun. Ia mendirikan Masjid Agung Banten dan Keraton Surosowan, yang dikelilingi benteng batu setinggi dua meter dengan teknologi penyaringan air canggih dari mata air Tasikardi sejauh dua setengah kilometer dari istana.
Kebijakan perdagangan terbuka menjadi kunci kesuksesan Banten. Bahkan, pada tahun-tahun awal pemerintahannya, Sultan Maulana Hasanuddin menjalin kerja sama dengan Portugis, yang saat itu menguasai Selat Malaka. Meskipun sebelumnya menjadi seteru Kesultanan Demak, Portugis diberi hak istimewa membeli lada dari Banten, serta membantu memperkuat pertahanan dengan mendirikan benteng dan memperbarui artileri.
“Pelabuhan Banten berkembang seperti emporium besar lainnya di Asia seperti Malaka, Aceh, dan Makassar,” ungkap Mufti Ali, sejarawan UIN SMH Banten dalam video dokumenter tersebut.
Rendahnya tarif cukai barang, hanya lima persen dibandingkan lebih dari sepuluh persen di Batavia, menjadi daya tarik utama bagi para pedagang asing.
Uniknya, posisi Syah bandar atau kepala pelabuhan di Banten kerap dipegang oleh orang asing, misalnya dari Persia. Hal ini mencerminkan kebijakan terbuka Kesultanan Banten terhadap orang luar, sekaligus bentuk diplomasi dagang yang cerdas dan inklusif.
Puncak kejayaan Banten terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1682). Di bawah pemerintahannya, Banten menjalin hubungan diplomatik dengan Inggris, Belanda, dan berbagai kerajaan besar di Asia. Kota ini bahkan digambarkan sebagai le lieu de mémoire, tempat yang membuat orang rindu untuk kembali, oleh para pengelana Eropa.
Sikap Sultan Ageng yang menolak monopoli perdagangan oleh kekuatan asing seperti Portugis dan Belanda menjadikan Banten sebagai pelabuhan bebas yang terbuka bagi semua bangsa. Inilah yang menjadikan Banten sebagai simbol kemajuan maritim dan politik di Asia Tenggara pada abad ke-17.
Dalam lintasan sejarah, Banten telah menorehkan kisah kegemilangan sebagai kota pelabuhan kosmopolitan yang menjunjung tinggi inklusivitas, toleransi, dan kemandirian. Jejak kejayaan itu masih dapat disaksikan hingga kini di kawasan Banten Lama, yang menjadi saksi bisu masa keemasan maritim nusantara.
Sumber: Yotube Melawan Lupa Metro Tv
Penulis: Tolet |Harianbanten.co.id
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.