HARIANBANTEN.CO.ID – Awal dekade 1990-an menjadi babak baru dalam sejarah dakwah di Indonesia. Suasana keislaman yang semakin menguat kala itu tidak hadir begitu saja, tetapi didorong oleh harmoni antara umat Islam dan negara, kebijakan yang lebih akomodatif, serta bangkitnya kelas menengah Muslim yang makin sadar nilai-nilai spiritual.

Dari mimbar masjid ke siaran radio, dari panggung ceramah ke rekaman kaset, para dai tampil sebagai tokoh publik yang digandrungi lintas kalangan. Bahkan, ceramah keagamaan saat itu mampu menyaingi pamor sandiwara radio legendaris Saur Sepuh.

Fenomena ini dikenal sebagai “boom dai”, ketika suara para mubalig tak hanya menggema di majelis taklim, tetapi juga menjadi program unggulan di radio-radio swasta. Dalam suasana itu, nama-nama seperti Zainuddin MZ, KH Qasim Nurseha, hingga Hajah Tuti Alawiyah menjadi ikon dakwah yang kehadirannya dinanti-nantikan.

Ceramah Jadi Favorit, Kaset Dakwah Laris Manis

Sebelum televisi swasta tumbuh pesat, radio menjadi media utama penyebaran dakwah. Kaset-kaset ceramah yang direkam secara profesional menjadi barang laris. Zainuddin MZ, dai asal Betawi yang dikenal dengan gaya retorikanya yang memikat, menjadi pelopor tren ini.

Tahun 1986, Virgo Ramayana Records merilis kaset dakwah Zainuddin, disusul oleh Naviri Record yang menyebarluaskan ceramahnya ke berbagai daerah. Dalam waktu singkat, hampir seluruh radio swasta mengumandangkan suaranya pagi, siang, hingga malam.

Tak heran bila Zainuddin MZ dijuluki “dai sejuta umat.” Dalam sehari, ia bisa berceramah hingga di empat tempat berbeda. Ceramahnya bukan hanya padat ilmu, tetapi juga menghibur dan aktual.

Dai dari Kalangan Selebritas hingga Sastrawan

Boom dakwah awal 90-an tak hanya dimonopoli para santri atau lulusan pesantren. Sejumlah figur publik dari dunia seni dan hiburan ikut mengambil bagian dalam gerakan dakwah. Mereka membawa pendekatan berbeda, lebih personal, menyentuh sisi batin, dan mudah diterima publik luas.

Di antaranya, Rendra, sastrawan besar yang ceramahnya bahkan memikat orang-orang membeli tiket. Istri Rendra kala itu, Sito Prabu Ningrat, juga aktif berdakwah dan digemari kalangan ibu-ibu di Yogyakarta. Ia pernah mengisi hingga 65 ceramah hanya dalam satu bulan.

Pelawak Tomtam Grup dan H. Nurul Komar melalui program “Optimis” di Radio Suara Kejayaan, atau Kang Ibing dengan gaya Kabayannya, tampil sebagai dai yang merakyat, menyampaikan pesan-pesan Islam dalam balutan humor dan keseharian.

Mereka yang Menoreh Jejak Abadi

Dari banyaknya dai yang muncul, sejumlah nama tercatat sebagai sosok yang meninggalkan pengaruh mendalam. Berikut beberapa di antaranya:

  • KH Qasim Nurseha, suara khasnya menyapa pendengar dua kali sehari lewat Radio Kayu Manis Jakarta. Dakwahnya sistematis, sederhana, dan cocok bagi pemula dalam belajar agama. Ia juga dikenal sebagai guru ngaji Cendana dan pengisi rohani di lingkungan TNI.
  • Hajah Tuti Alawiyah, mubaligah Betawi yang sejak usia 9 tahun sudah aktif berceramah. Selain aktif berdakwah, ia dikenal sebagai pendidik dan pernah menjabat Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Namanya kini diabadikan menjadi nama jalan di Jakarta.
  • KH Nur Muhammad Iskandar, pendiri Pesantren Assyiddiqiyah di Jakarta. Ceramahnya yang beredar lewat kaset dan program di Radio CBB Jakarta menjadikannya salah satu dai paling dikenal era itu.
  • Ustaz Mahyaruddin Salim, dikenal luas di Sumatera dengan gaya santun dan trademark ceramahnya, “yang sudah-sudahlah.” Ia menghasilkan lebih dari 40 judul ceramah dalam kaset.
  • AR Fachrudin, tokoh Muhammadiyah Yogyakarta, sering tampil di TVRI. Ceramahnya sejuk dan bisa diterima berbagai kalangan.
  • KH Baihaki Arifin atau Bei Arifin, ulama asal Sumatera Barat yang dikenal dengan gaya duduk saat ceramah dan kisah-kisah lucunya. Ia aktif berdakwah hingga usia senja.

Warisan Dakwah dan Relevansinya Kini

Boom dakwah di awal 90-an bukan sekadar fenomena keagamaan, tapi juga representasi perubahan sosial di Indonesia. Ketika ruang publik mulai membuka diri terhadap ekspresi keislaman, para dai ini tampil sebagai penyambung lidah umat dengan cara yang segar dan kontekstual.

Kini, dakwah bertransformasi ke medium digital, podcast, YouTube, media sosial. Namun semangat dan pendekatan yang dahulu mereka rintis tetap relevan, menyampaikan nilai-nilai Islam dengan pendekatan yang mencerahkan, menghibur, dan membumi.

Penulis: Red | Harianbanten.co.id