Pulau Sangiang: Surga Tersembunyi di Selat Sunda yang Terancam Lenyap
HARIANBANTEN.CO.ID – Di antara riuhnya ombak Selat Sunda, tersembunyi sebuah pulau yang seperti terlempar dari kisah dongeng. Air lautnya berkilau biru toska, hutan purbanya rimbun, dan pesona bawah lautnya menyimpan museum alam yang belum sepenuhnya tersentuh teknologi satelit. Pulau itu bernama Sangiang.
Secara administratif, Pulau Sangiang terletak di Desa Cikoneng, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang, Banten. Namun secara geografis, pulau ini tersembunyi begitu apik di antara Pulau Jawa dan Sumatera. Untuk mencapainya, wisatawan hanya butuh waktu sekitar 45 menit dengan kapal dari Anyer.
Bentang alamnya begitu dramatis, perpaduan antara tebing curam, hutan tropis, dan garis pantai yang masih perawan. Dulunya kawasan ini merupakan cagar alam seluas 720 hektare, namun pada 8 Februari 1993, statusnya berubah menjadi Taman Wisata Alam (TWA). Perubahan status itu bukan tanpa konsekuensi. Ia menjadi titik awal konflik antara pemerintah dan warga yang telah lama tinggal dan menjaga kawasan ini.
Salah satu bekas jejak pemukiman di Pulau Sangiang adalah Kampung Lagun Waru, yang pernah dihuni sekitar 50 kepala keluarga. Bahasa yang digunakan pun beragam: Sunda, Jawa, hingga Lampung, mencerminkan dinamika sosial masyarakat lokal.
Namun lebih dari itu, Pulau Sangiang adalah rumah bagi kekayaan hayati yang luar biasa. Di dalamnya hidup tiga ekosistem hutan: hutan dataran rendah, hutan pantai, dan hutan payau. Vegetasi yang tumbuh mencakup cemara laut (Casuarina equisetifolia), pohon bayur, ketapang, nyamplung, hingga wali kukun (Scaevola ovata). Hutan bakau juga tumbuh subur di beberapa titik.
Dari sisi fauna, pulau ini juga menyimpan kekayaan tak ternilai. Lutung Jawa (Trachypithecus auratus), kucing hutan (Prionailurus bengalensis), biawak, elang laut perut putih, hingga berbagai jenis burung air dan laut menjadikan pulau ini sebagai tempat tinggal.
Bagi pecinta petualangan, Pulau Sangiang menyimpan banyak aktivitas seru. Menyusuri gua kelelawar, bahkan menyaksikan hiu menunggu mangsanya di bawahnya, menjadi pengalaman langka. Wisatawan juga bisa menyelam di perairan Tanjung Raden, menjelajah terumbu karang dengan perahu kaca, hingga memancing dan berjemur di pantai.
Tak hanya itu, sisa-sisa sejarah berupa benteng pertahanan Jepang dari era Perang Dunia II masih berdiri kokoh, menyimpan kisah masa lalu yang tak banyak diketahui. Sayangnya, untuk menjangkau area ini dibutuhkan izin khusus dari aparat keamanan.
Namun, surga ini tak sedang baik-baik saja. Di balik pesona alam dan kekayaan hayatinya, Pulau Sangiang tengah menghadapi ancaman serius. Konflik kepemilikan lahan dan tekanan pembangunan mengancam kelestarian alam dan kehidupan warga lokal. Para relawan konservasi kini berjuang menjaga apa yang tersisa.
Kini, suara kita dibutuhkan. Karena sekecil apapun dukungan terhadap kelestarian Pulau Sangiang, bisa berarti besar bagi generasi mendatang.
Penulis: Asep Tolet | Harianbanten.co.id
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.