JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mengirim surat keberatan atas izin lingkungan PLTU Jawa 9 & 10, Suralaya, Banten, Indonesia. Dasar dari pengiriman surat ini yaitu Pasal 92 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Surat dikirim ke Gubernur Banten, Wahidin Halim, dan diperkirakan sampai pada tanggal 5 Agustus 2020.

Dalam suratnya, WALHI menyertakan beberapa alasan keberatan antara lain : (1) AMDAL PLTU Jawa 9 dan 10 mengandung kecacatan hukum dan kekeliruan informasi, (2) Izin Lingkungan Jawa 9 & 10 tidak dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 15/2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal, dan (3) Partisipasi masyarakat dalam penyusunan Izin Lingkungan lemah .

“Dengan surat keberatan ini, kami menuntut agar Gubernur Banten menunda dan mencabut izin lingkungan PLTU Jawa 9 dan 10. Proyek pembangunan ini hanya akan mendatangkan mudarat dan akan merugikan lingkungan hidup,” ungkap Ronald Siahaan, dari WALHI Nasional.

PLTU Jawa 9 & 10 akan menambah daftar panjang PLTU batubara yang mengelilingi ibukota Jakarta. Tahun lalu, Jakarta mendapat predikat sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia karena banyaknya PLTU batubara yang yang beroperasi di sekitar Jakarta, termasuk Banten. Selain itu, data Kemenkes 2018 menunjukkan Provinsi Banten merupakan 5 teratas provinsi dengan prevalensi ISPA tertinggi, sementara berdasarkan data Dinas Kesehatan Cilegon pada tahun 2019, mencatat bahwa penyakit yang paling banyak diderita oleh penduduk Cilegon adalah ISPA dengan 39.455 kasus. Analisis model dampak kesehatan rencana pembangunan PLTU Jawa 9 & 10 oleh Greenpeace Indonesia menemukan, PLTU ini dapat mengakibatkan 4.700 kematian dini selama masa operasinya.

Ini menggambarkan bahwa proyek Jawa 9-10 akan semakin menambah beban ekologis Banten. Terlebih, saat ini pesisir Banten memiliki tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi. Jika tetap dilaksanakan, maka kerentanan ekosistem pesisir semakin bertambah. Dengan demikian, keberadaan PLTU juga akan menambah kerentanan wilayah dan masyarakat terhadap bencana ekologis yang disebabkan dari akumulasi kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Maka merencanakan proyek atau pembangunan yang membebani lingkungan hidup tinggi sama halnya dengan sedang merencanakan bencana, memberikan izin lingkungan sama halnya dengan “mempersilahkan” Banten dikepung bencana.

Di samping itu, studi pra-kelayakan dari lembaga pengembangan Korea Selatan menilai proyek PLTU Jawa 9 & 10 tidak menguntungkan dari segi bisnis. Selain Korea Electric Power Corporation (KEPCO), lembaga keuangan publik Korea Selatan seperti Korea Development Bank (KDB), Korea Expor Impor Bank (KEXIM), Korea Trade Insurance Corporation (K-Sure) memiliki andil besar dalam mendanai pembangunan PLTU batubara Jawa 9 & 10.

Beberapa bank di Asia juga terlibat dalam kredit sindikasi untuk pembiayaan pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10. Manajer sindikasi kredit untuk PLTU Jawa 9 dan 10 adalah DBS Singapura. Bank dari Malaysia juga diketahui terlibat sebagai peserta sindikasi yaitu CIMB dan Maybank, juga Bank of China, Tiongkok. Sedangkan dari Indonesia, bank yang terlibat adalah Bank Mandiri, BNI dan Indonesia Eximbank. Selain itu, Bank Hana dari Korea Selatan juga terlibat dalam kredit sindikasi ini.

Bersama mitranya di Indonesia, PLN, para investor tersebut hanya akan menderita kerugian apabila PLTU Jawa 9 dan 10 menjadi aset terlantar.

“Investasi pada proyek yang memiliki cacat hukum dan berpotensi atas pembatalan izin lingkungan merupakan keputusan yang sangat tidak rasional. Masalah ini akan berdampak pada proses pembangunan PLTU Jawa 9 & 10, sehingga proyek ini berpeluang menjadi aset terlantar yang dapat merugikan para investor. Tidak ada satupun hal positif dari proyek PLTU Jawa 9 dan 10. Proyek ini hanya akan menambah panjang sejarah degradasi kualitas udara dan penurunan mata pencaharian bagi komunitas terdampak di Indonesia, selain memperkeruh dampak fatal perubahan iklim,” kata Binbin Mariana, SEA Energy Finance Campaigner dari Market Forces.

Sementara itu, dalam laporan kuartal I 2020, PLN rugi Rp 38,8 triliun dan terjerat utang mencapai Rp 500 triliun sehingga sangat memerlukan suntikan dana dari pemerintah. Buruknya kondisi keuangan PLN ini terjadi karena praktik bisnis buruk di PLN sejak puluhan tahun silam, perjanjian jual-beli listrik dengan klausul take or pay, berarti PLN akan terus membeli listrik dari pihak swasta meski tidak dibutuhkan. Klausul ini masih dipakai dalam program listrik 35.000 MW.

“Sebagai proyek yang masuk dalam program 35.000 MW, pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 tentu saja akan menambah beban keuangan PLN,” ujar Dwi Sawung, Pengampanye Energi dan Urban WALHI Eksekutif Nasional.

Sementara, kondisi pertumbuhan konsumsi listrik jauh di bawah perkiraan, sehinggapembangkit ini tidak diperlukan dalam sistem kelistrikan Jawa-Bali.

“PLN tetap akan membayar listriknya atau pilihan lain mematikan pembangkit milik PLN untuk mengurangi kerugian. Kerugian ini seolah-olah ditanggung PLN, padahal negara-dengan menggunakan uang pajak masyarakat, yang akan menanggung kerugian tersebut seperti yang terjadi dua dekade lalu,” tutupnya. (HRS/Red)