HARIANBANTEN.CO.ID – Di pesisir barat Pulau Jawa, jauh sebelum nama Sriwijaya dan Majapahit menghiasi lembaran sejarah Nusantara, berdiri sebuah kerajaan yang jarang disebut dalam buku pelajaran. Kerajaan itu bernama Salakanagara. Meski tidak sepopuler kerajaan besar lainnya, Salakanagara menyimpan kisah tentang lahirnya pusat kekuasaan, perdagangan internasional, dan pertemuan budaya yang terjadi hampir dua ribu tahun silam.

Dari Utusan Dagang Menjadi Raja

Menurut naskah Wangsakerta, Salakanagara berdiri sekitar tahun 130 Masehi. Pendirinya adalah Prabu Dewa Warman I, seorang bangsawan dari India bagian timur. Awalnya, ia datang sebagai utusan dagang yang menempuh jalur perdagangan India–Cina melalui Selat Sunda.

Tak lama setelah menetap, Dewa Warman menikahi Poha Cilarasati, putri dari kepala suku setempat. Pernikahan ini bukan sekadar penyatuan dua insan, melainkan juga aliansi politik. Jaringan dagang India berpadu dengan kekuatan lokal, membuka jalan bagi lahirnya kerajaan baru di wilayah yang kini menjadi Kabupaten Pandeglang, Banten.

Salakanagara, Negeri Perak di Barat Jawa

Dewa Warman kemudian membangun pusat pemerintahan di sebuah kawasan bernama Raja Tapura. Dari sinilah nama Salakanagara muncul, yang berarti “negeri perak”. Nama itu diyakini merujuk pada kekayaan alam dan hasil bumi yang melimpah di daerah tersebut.

Pelabuhan besar didirikan, menjadikan Salakanagara persinggahan kapal-kapal asing. Pedagang dari India, Cina, hingga Persia berdatangan. Komoditas lokal seperti damar, emas, dan rempah ditukar dengan sutra, logam mulia, dan keramik asing.

Catatan kuno bahkan menyebutkan, Salakanagara sudah mengenal penggunaan mata uang perak. Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan ini termasuk pelopor sistem ekonomi berbasis monetisasi di Nusantara.

Kebijakan Raja Visioner

Prabu Dewa Warman dikenang sebagai raja yang tegas sekaligus visioner. Beberapa kebijakan pentingnya antara lain:

  • Pertahanan laut: membangun armada kapal untuk melindungi jalur perdagangan dari bajak laut.
  • Sistem hukum: memadukan adat lokal dengan pengaruh hukum Hindu dari India.
  • Kehidupan spiritual: mendorong toleransi antara Sunda Wiwitan dan pengaruh Hindu-Buddha.
  • Diplomasi dagang: menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan di Sumatera, India, hingga Asia Timur.

Kebijakan-kebijakan itu membawa stabilitas. Kehidupan rakyat menjadi lebih teratur, pasar tumbuh, dan kerajinan logam berkembang pesat. Salakanagara pun dikenal sebagai kerajaan makmur di barat Jawa.

Bertahan Delapan Generasi

Prabu Dewa Warman I memerintah hingga sekitar tahun 168 Masehi, atau 38 tahun setelah ia dinobatkan sebagai raja. Kepemimpinannya diteruskan oleh putranya, Dewa Warman II, dan berlangsung hingga delapan generasi.

Namun pada abad ke-4 Masehi, Salakanagara akhirnya melebur ke dalam kekuasaan Tarumanegara. Meski demikian, jejak peradaban yang ditinggalkan tetap berpengaruh dalam perkembangan budaya dan politik di tanah Sunda.

Warisan yang Terlupakan

Kini, hampir tak ada peninggalan arkeologis yang bisa disaksikan langsung dari Salakanagara. Sejarahnya lebih banyak hidup dalam naskah dan tradisi tutur. Karena itu, sebagian ahli masih memperdebatkan statusnya—apakah benar-benar kerajaan historis atau legenda yang dilekatkan pada naskah kuno.

Namun, keberadaan cerita Salakanagara tetap penting. Ia menunjukkan bahwa sejak awal Masehi, wilayah Nusantara sudah terhubung dengan jaringan perdagangan dunia. Lebih dari itu, ia juga merekam pertemuan dua kebudayaan: lokal dan India, yang kemudian membentuk fondasi peradaban Sunda.

Sebuah Tonggak Awal

Salakanagara bukanlah kerajaan besar yang meninggalkan candi megah atau prasasti monumental. Tetapi dari negeri perak inilah, tonggak awal kerajaan di Nusantara mulai tercatat.

Prabu Dewa Warman I dikenang bukan hanya sebagai raja pertama di tanah Sunda, tetapi juga perintis yang membuka jalan bagi lahirnya kerajaan-kerajaan setelahnya. Tanpa Salakanagara, mungkin perjalanan panjang menuju kejayaan Tarumanegara, Sunda, hingga Majapahit tak akan pernah sama. (red)