Mengapa Pulau Jawa Dihuni Dua Suku Besar: Sunda dan Jawa?
HARIANBANTEN.CO.ID – Pulau Jawa menjadi rumah bagi lebih dari 140 juta penduduk Indonesia. Dengan kepadatan penduduk tertinggi di Nusantara, pulau ini menyimpan keragaman budaya dan etnis. Di antara banyak suku yang tinggal di Jawa, terdapat dua kelompok besar yang memiliki sejarah panjang, yakni suku Sunda dan suku Jawa.
Meski berbagi tanah yang sama, keduanya tumbuh dengan identitas budaya, bahasa, dan tradisi yang berbeda. Bagaimana asal-usul perbedaan itu terbentuk?
Jejak Sejarah Panjang
Suku Jawa berkembang di wilayah tengah dan timur Pulau Jawa. Identitas mereka banyak dipengaruhi oleh kerajaan-kerajaan besar seperti Mataram Kuno dan Majapahit. Majapahit, misalnya, dikenal sebagai kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara pada abad ke-14 yang meninggalkan warisan politik, seni, dan sistem sosial.
Di sisi lain, suku Sunda mendiami bagian barat Jawa. Sejarah mereka ditandai dengan lahirnya kerajaan Tarumanegara pada abad ke-5 hingga abad ke-7 Masehi, kemudian dilanjutkan dengan kerajaan Sunda yang berkuasa hingga abad ke-16. Berbeda dengan Jawa Timur yang identik dengan struktur kerajaan kuat, masyarakat Sunda lebih egaliter dan dekat dengan alam.
Geografi sebagai Pembatas
Faktor geografis ikut memengaruhi pembentukan identitas kedua suku ini. Dua rangkaian pegunungan membelah Jawa dari barat ke timur, menciptakan pembatas alami.
Wilayah barat yang subur dan dekat laut menjadikan masyarakat Sunda berkembang dalam pola hidup pertanian sekaligus maritim. Pelabuhan Sunda Kelapa—kini Jakarta—pernah menjadi pusat perdagangan internasional.
Sementara itu, wilayah tengah dan timur dengan dataran luas mendukung pertanian padi intensif. Kondisi ini menopang tumbuhnya kerajaan-kerajaan besar dan struktur sosial yang lebih terpusat pada istana atau keraton.
Bahasa dan Budaya
Bahasa menjadi pembeda utama antara kedua suku. Bahasa Jawa memiliki tingkatan tutur, dari ngoko hingga krama inggil, yang mencerminkan struktur sosial masyarakatnya. Bahasa Sunda juga mengenal tingkatan, meski penggunaannya lebih sederhana dibanding Jawa.
Dalam seni, Sunda dikenal dengan tari jaipong yang enerjik dan musik tradisional angklung. Jawa identik dengan wayang kulit yang sarat simbol dan nilai moral. Adat pernikahan dan upacara tradisional pun mencerminkan perbedaan: Jawa lebih kental dengan tata aturan keraton, sementara Sunda lebih terbuka dan cair.
Struktur Sosial dan Politik
Perbedaan juga terlihat dalam struktur politik. Masyarakat Jawa terbentuk dari tradisi kerajaan besar dengan raja, bangsawan, dan pejabat istana yang memiliki hierarki jelas. Sistem kasta dan status sosial lebih terasa dalam masyarakat Jawa klasik.
Sebaliknya, masyarakat Sunda meski memiliki kerajaan, cenderung mengedepankan hubungan kolektif. Peran pemimpin lokal atau kepala desa cukup menonjol, sehingga struktur sosialnya relatif lebih egaliter.
Mitos Larangan Pernikahan
Di masyarakat Jawa dan Sunda sempat berkembang mitos tentang larangan menikah antar kedua suku. Cerita rakyat menyebut bahwa perkawinan Sunda-Jawa bisa membawa kesialan atau konflik.
Namun, sejauh ini tidak ada dasar hukum maupun agama yang melarang pernikahan antara kedua suku. Anggapan tersebut lebih merupakan mitos turun-temurun. Generasi muda di kota-kota besar kini banyak yang tidak lagi mempercayainya.
Perkawinan antarsuku, termasuk Sunda dan Jawa, semakin lazim terjadi. Justru keberagaman ini memperkaya kehidupan sosial budaya Indonesia.
Dua Identitas, Satu Pulau
Meski berbeda, suku Sunda dan Jawa saling melengkapi. Keduanya memberi warna pada kebudayaan Indonesia: Sunda dengan tradisi egaliter yang dekat dengan alam, Jawa dengan tradisi kerajaan dan seni simboliknya.
Perbedaan sejarah, budaya, dan geografi telah membentuk identitas masing-masing. Hingga kini, kedua suku besar itu tetap hidup berdampingan di Pulau Jawa, memberikan kontribusi penting bagi mozaik kebudayaan Nusantara. (red)
Sumber: yotube @INVOICEINDONESIA



Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.