HARIANBANTEN.CO.ID – Islamisasi di wilayah Banten tak lepas dari peran para ulama besar yang menyebarkan ajaran agama melalui pendekatan dakwah dan karomah. Salah satu nama yang lekat dalam ingatan masyarakat adalah Syekh Maulana Mansyuruddin, seorang ulama yang diyakini sebagai tokoh penting dalam penyebaran Islam di wilayah Banten Selatan, khususnya Kabupaten Pandeglang.

Menurut cerita tutur turun-temurun, Syekh Maulana Mansyuruddin meninggalkan jejak spiritual berupa Batu Qur’an, yakni batu yang di tengah kolam pemandian terdapat tulisan ayat suci Al-Qur’an. Tempat ini kini ramai dikunjungi peziarah dan wisatawan yang ingin mengambil berkah atau sekadar mandi di kolam yang diyakini memiliki nilai sakral tersebut.

Gambar Ilustrasi

Dari Cikoromoy hingga Cikadueun

Perjalanan dakwah Syekh Mansyuruddin membawanya ke daerah Cikoromoy, tempat ia menikah dengan Nyai Mas Ratu Sarinten. Dari pernikahan itu lahirlah putra bernama Muhammad Sholih, yang kemudian dikenal sebagai Kyai Abu Sholih.

Namun, duka menghampiri ketika sang istri wafat karena terpeleset saat mandi dan terbentur batu kali. Rambut panjang Nyai Mas Ratu Sarinten disebut-sebut menjadi penyebab musibah itu. Sejak itu, Syekh Mansyuruddin melarang keturunannya yang perempuan memanjangkan rambut melebihi tinggi tubuh mereka. Nyai Sarinten kemudian dimakamkan di kawasan Pasarean Cikoromoy, Cimanuk.

Usai peristiwa itu, Syekh Mansyuruddin pindah ke Cikadueun dan menikah lagi dengan Nyai Mas Ratu Jamilah dari Caringin, Labuan. Dari pernikahan ini ia dikaruniai dua orang putra.

Pohon Waru Menjongkok dan Harimau Laut

Dalam upaya menyebarkan Islam ke pesisir selatan, Syekh Mansyuruddin melakukan perjalanan hingga ke hutan Pakuwon Mantiung. Di sana, saat beristirahat di bawah pohon waru, terjadi peristiwa menakjubkan. Pohon tersebut menjongkok seolah memberi hormat kepada beliau, dan sejak itu pohon-pohon waru di kawasan itu tumbuh miring. Wilayah itu kini dikenal dengan sebutan Kampung Waru Condong.

Kisah karomah lainnya terjadi saat beliau mendengar suara harimau dari pesisir Binuangeun. Seekor harimau terlihat terjebak karena kakinya terjepit cangkang kima (kerang laut raksasa). Harimau tersebut pasrah, mengira ajalnya sudah dekat. Namun Syekh Mansyuruddin—atas izin Allah—dapat memahami bahasa binatang. Ia menasihati harimau itu dan meminta janji agar tidak mengganggu keturunannya dan siapa pun yang menyebut namanya.

Setelah harimau berjanji, Syekh melepaskan kakinya dari jepitan kima. Harimau itu kemudian diberi kalung berisi surat Yasin dan nama baru: Raden Tempang Langlang Buana, juga dikenal sebagai Si Pincang atau Kibuyut Kalam.

Makam Keramat dan Warisan Spiritual

Setelah kembali dari Banten Selatan, Syekh Mansyuruddin menetap di Cikadueun dan melanjutkan dakwahnya hingga akhir hayat. Beliau dimakamkan di Desa Cikadueun, Kecamatan Cipeucang, Kabupaten Pandeglang, yang kini menjadi tempat ziarah masyarakat dari berbagai daerah.

Cerita Syekh Maulana Mansyuruddin tak hanya menyimpan nilai sejarah Islamisasi di Banten, tetapi juga merekam perpaduan dakwah, budaya lokal, dan kearifan spiritual yang hingga kini masih hidup di tengah masyarakat.

Penulis: Asep Tolet | Harianbanten.co.id


Penulis menyadari bahwa tulisan ini mungkin masih mengandung kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila terdapat kesalahan atau ketidaksempurnaan dalam penyajian informasi.

Masukan dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan tulisan yang lebih baik dan memberikan manfaat bagi khalayak.