HARIANBANTEN.CO.ID – Nama Pangeran Aria Ahmad Jayadiningrat barangkali belum sepopuler tokoh-tokoh nasional lain dalam buku sejarah. Namun, jejaknya dalam birokrasi kolonial Hindia Belanda menunjukkan dedikasi tinggi terhadap perubahan sosial, pendidikan, dan perlindungan bagi rakyat kecil, terutama kalangan pribumi.

Lahir di Pandeglang pada 16 Agustus 1877, Ahmad Jayadiningrat berasal dari keluarga bangsawan dan birokrat. Ia merupakan anak ketiga dari Raden Tumenggung Jayadiningrat, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda, dan Ratu Salehah. Meski dibesarkan dalam lingkungan pesantren Karundang, Ahmad kecil kerap menghadapi ejekan karena status keluarganya sebagai pegawai kolonial, pengalaman yang kelak membentuk empatinya terhadap kaum terpinggirkan.

Pendidikan formalnya dimulai di Europe Lagere School (ELS) di Serang, sekolah dasar bagi anak-anak Eropa. Di sana, Ahmad mengalami diskriminasi rasial. Ia kemudian melanjutkan ke Hogere Burgerschool (HBS) di Batavia, dan memilih memakai nama “Willem van Bantam” demi menghindari perlakuan diskriminatif dari kalangan Eropa.

Karier Ahmad dimulai pada usia muda sebagai juru tulis di kantor kejaksaan Serang. Tak butuh waktu lama, ia naik menjadi Wedana Bojonegara dan pada tahun 1901 diangkat menjadi Bupati Serang menggantikan ayahnya. Ia dikenal sebagai pemimpin progresif dan visioner, seangkatan dengan tokoh-tokoh seperti R.M.A.A. Kusumoyudho, Bupati Jepara kala itu.

Tahun 1924 hingga 1929, Ahmad dipercaya memimpin Batavia sebagai Bupati. Di ibu kota Hindia Belanda, ia menunjukkan keberpihakan pada masyarakat miskin kota. Ia juga dikenal terbuka terhadap gerakan pergerakan nasional, termasuk memberi ruang bagi kegiatan Syarikat Islam, meski dirinya tidak menjadi anggota.

Salah satu adiknya, Hasan Jayadiningrat, merupakan tokoh Syarikat Islam di Serang. Meski keterlibatan Hasan hanya sebentar, keluarga Jayadiningrat secara umum terhubung dengan semangat kebangkitan nasional yang merebak saat itu.

Karier Ahmad Jayadiningrat mencapai salah satu puncaknya pada 1918 ketika ia ditunjuk menjadi anggota Volksraad, dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda. Ia mewakili Nederlandsch Indische Vorstenbond atau Perhimpunan Bupati. Di forum tersebut, ia dikenal vokal dalam menyuarakan aspirasi kalangan pribumi.

Salah satu usulan pentingnya adalah menjadikan bahasa Melayu dan Belanda sebagai bahasa resmi sidang Volksraad, untuk menjembatani komunikasi antara anggota Eropa dan pribumi. Usulan itu mencerminkan kepekaan Ahmad terhadap keterbatasan bahasa yang kerap menjadi penghalang partisipasi politik kaum bumiputra.

Ahmad juga sempat mewakili Hindia Belanda dalam forum internasional, yakni Liga Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss. Dalam lawatannya ke Eropa, ia bertemu kembali dengan mentor masa mudanya, Snouck Hurgronje, orientalis yang berpengaruh dalam kebijakan kolonial terhadap Islam di Indonesia.

Pada 1936, Ahmad menulis buku autobiografi berjudul “Renungan Pangeran Arya Ahmad Jayadiningrat”, yang memuat kisah 37 tahun pengabdiannya dalam birokrasi kolonial. Buku tersebut menjadi salah satu karya langka dari pejabat pribumi di masa penjajahan yang menuliskan sendiri perjalanan hidup dan refleksi sosialnya.

Ahmad Jayadiningrat wafat pada 22 Desember 1943 dalam usia 66 tahun. Namanya memang jarang disebut dalam narasi besar sejarah nasional, namun warisannya sebagai pejabat bumiputra yang berani menyuarakan kepentingan rakyat patut dikenang. Bagi masyarakat Banten, ia adalah simbol pemimpin berintegritas di tengah tekanan kekuasaan kolonial.

Penulis: Red| Harianbanten.co.id